Akankah Dota 2 Mati?

Akankah Dota 2 Mati?

Akankah Dota 2 Mati?

Pertanyaan to-the-point pada judul barangkali akan mengusikmu yang penggemar Dota 2 dan-tentu saja-Valve. Namun, kondisi yang belakangan terjadi rasanya membuat kita memang pantas bertanya-tanya: Mungkinkah Dota 2 mati?

Atau agar lebih tegas: Akankah?

Jauh sebelum pertanyaan itu mengemuka, kita sepakat menyebut Dota sebagai fenomena. Kita semua juga mungkin tahu bahwa fenomena itu seolah muncul tanpa sengaja, yang bermula dari kehadiran mod sebuah game legendaris bernama Warcraft III.

Kesan demikian makin kentara jika melihat sejumlah kabar yang mengiringi kehadirannya. Pada masa awal pengembangan, tim yang menyusun mod ini hanya sedikit orang. Beruntung mereka memilih langkah cerdas: Memanfaatkan ide-ide dari penggemar/pemain.

dota 2 mati

Untuk menghimpunnya, pengembang menggunakan situs Dota Allstars. Ini situs yang memungkinkanmu berkomunikasi dengan para pengembang. Tentu, sebagian besar memberi masukan terkait gameplay hingga sekadar saran soal hero di dalam game.

Sejak saat itu Dota berkembang pesat. Bermula dari mod, ia hadir menjadi judul game tersendiri pada 2009. Di tahap ini Dota sempat ditinggal salah satu kreator tetapi tetap mampu tumbuh, terutama setelah Valve yang memiliki Steam mengajak Icefrog -salah satu kreator Dota- berkolaborasi.

Bagaimanapun, ide dasar Dota hingga menjadi Dota 2 tetap sama. Ini game MMORPG antara dua tim yang saling berhadapan. Masing-masing tim beranggotakan 5 pemain yang tugas mereka menghancurkan ‘Ancient’ lawan untuk bisa memenangi pertandingan.

Dota Mulai Ditinggal Penggemar

Ide-ide para penggemar punya peran besar dalam perkembangan Dota sebagai sebuah game. Sebagai komunitas, mereka pula yang membuat nama Dota semakin besar.

Dari komunitas-komunitas inilah berbagai turnamen lokal Dota lahir. Kita yang mengikuti skena kompetitif Dota mungkin familiar dengan sebutan ‘Turnamen Warnet’.

dota 2 mati

Pada 2011, Valve coba menggelar perhelatan serupa. Ide awalnya adalah menghelat turnamen secara sportif sebab kerap terjadi kasus penipuan dan tindakan curang lain di kebanyakan turnamen lokal.

Tentu saja hal demikian disambut positif. Terlebih, Valve tak tanggung-tanggung. Mereka menggelar turnamen internasional dengan hadiah total lebih dari satu juta dolar Amerika.

Kita kini mengenalnya sebagai ‘The International’.

Turnamen tersebut bukan turnamen bertajuk esports pertama di dunia. Walau begitu, dari turnamen inilah, salah satunya, orang-orang kian tahu bahwa esports termasuk olahraga sekaligus industri yang menjanjikan.

Setiap tahun, jumlah hadiah The International mengalami peningkatan. Edisi terakhir yang digelar tahun lalu, misalnya, memperebutkan hadiah total lebih dari 34 juta dolar Amerika.

Angka itu hampir setengah dari total uang yang didapat Bayern Muenchen karena memenangi semua laga Liga Champions 2020 (95 juta dolar Amerika). Ingat: Semua laga, yang berarti selalu menang sejak babak grup hingga final.

Kamu mungkin akan bertanya: Dari mana hadiah itu berasal? Rupanya, Valve hanya mensponsori sebagian kecil dari total hadiah tersebut. Sebagian lain berasal dari penjualan Battle Pass (semacam event eksklusif) di dalam game.

Lagi-lagi, ini ada kaitannya dengan penggemar dan di sini masalahnya.

dota 2 mati

Saat penggemar mulai beralih, Dota 2 seperti tak punya strategi lain. Oke mereka memberi serangkaian update. Dua yang cukup mencuri atensi adalah The New Journey dan Talent Tree. Hal itu sayangnya tak cukup.

Data Steam menyebutkan, meski masih termasuk salah satu game populer, Dota kehilangan sekitar setengah jumlah pemain per hari sejak 2017. Belakangan, angka pemain hariannya bahkan mentok di kisaran 500 ribu.

Singkat cerita, update yang Dota lakukan belum cukup menarik untuk para penggemar. Di sisi lain, mereka kesulitan mendapatkan penggemar baru. Tentu saja ini berkaitan dengan gameplay yang mereka miliki sendiri.

itemku bertanya kepada sejumlah orang yang tak bermain Dota dan jawaban mereka relatif sama. Rizqan Alfarisi, misalnya. Pegawai sebuah perusahaan agensi di Jakarta ini bilang bahwa Dota terlalu rumit.

“Pernah main, tapi ya itu rumit makanya jadi ga minat mainnya. Ga paham teknik main dan mekanismenya. Akhirnya malas ngikutin perkembangannya,” papar Rizqan.

Kerumitan Dota memang bukan rahasia lagi. Ada role-role tertentu yang mesti kita pahami betul-betul. Belum lagi bicara soal hero yang banyak sekali jumlah dan karakteristiknya.

Alhasil, game ini terbilang kurang ramah untuk newbie. Terlebih, akan ada saja satu atau dua pemain toxic hingga yang merasa lebih jago ketimbang pemain lainnya. Para newbie pun tersisihkan.

Boleh jadi, sebagian dari para newbie tersebut adalah mereka yang sebetulnya menyukai MOBA. Untung buat mereka, di masa sekarang ada begitu banyak game dengan genre sejenis yang jauh lebih simpel.

dota 2 mati

Beberapa bahkan tersedia di smarphone Android. Kita bisa menyebutnya satu per satu: Vain Glory, Arena of Valor, hingga Mobile Legends. Judul terakhir adalah yang terpopuler dengan angka download mencapai 100 juta lebih.

Bagi Dota, jelas ini mengganggu. Belum bila bicara soal saingan di platform sejenis. Salah satunya, tentu saja, League of Legends yang justru kian tumbuh secara game maupun komunitas (meski tak populer di Indonesia).

Situasi Dota kian sulit sebab The International 2020 pasti batal digelar. Ajang itu mestinya sudah dihelat pada akhir Agustus di Swedia. Sayangnya, sebagaimana beberapa ajang lain, pandemi COVID-19 memaksa Valve mengurungkannya.

Ada kemungkinan The International bisa digelar kembali tahun depan. Begitu klaim Valve. Namun, setelah itu apa?

Andai tetap tak berkembang, tak salah jika pertanyaan seperti judul terus mengemuka: Akankah Dota mati? Bisa jadi pula di waktu yang entah kapan kata pertama dan tanda tanya di judul itu hilang, berganti menjadi ‘Dota mati’.

==

Kamu lagi cari Steam Wallet murah? Cek dan daftar di sini.