Meraup Untung dari Item Virtual (2): Para Aktor Real Money Trading

Meraup Untung dari Item Virtual (2): Para Aktor Real Money Trading

Meraup Untung dari Item Virtual (2): Para Aktor Real Money Trading

Pernah makan Tao Kae Noi--snack rumput laut yang berasal dari Thailand?

Kalau pernah, ya, enggak apa-apa. Hehe. Kami sekadar bertanya, sebab yang akan kita bahas di sini adalah sosok di baliknya. Nama lengkapnya Aitthipat Kulapongvanich. Ia biasa dipanggil Top. Top Ittipat.

Jauh sebelum membuat Tao Kae Noi, Top tinggal bersama kedua orang tua yang selalu menuntutnya untuk belajar belajar belajar. Alih-alih demikian, Top justru malas-malasan. Ia lebih suka duduk di depan komputer, menghabiskan waktu dengan game-game online.

Kedua orang tuanya tak pernah menyukai aktivitas itu tetapi dari sanalah Top bisa menghasilkan banyak hal. Ia pernah menjual item dari salah satu game online. Menariknya, ini tak sekali-dua terjadi. Alhasil, Top menghasilkan banyak uang dan sanggup membeli mobil sendiri.

Dari situ kita bisa melihat bahwa ranah tersebut sungguh tak main-main. Perputaran uang di sana melibatkan dolar, rupiah, atau mata uang apapun dalam jumlah super fantastis. Top bahkan masih duduk di bangku SMA ketika semua itu ia dapatkan.

Namun, Top hanyalah satu dari banyak sekali contoh. Ia juga bukan orang terdepan di industri Real Money Trading (RMT). Ada orang-orang lain yang bisa dibilang sebagai aktor-aktor utama, dan kita akan membahasnya satu per satu di sini.

Roy Trubshaw dan Richard Bartle, Otak di Balik MUD

Multi-User Dungeon (MUD) memegang dua peran penting dalam perkembangan game di dunia. Game ini tak cuma jadi pelopor Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (MMORPG), tetapi juga mengawali sejarah Real Money Trading (RMT).

Adalah Roy Trubshaw dan Richard Bartle yang jadi sosok di belakangnya. Mereka mulai menggarap MUD pada 1978 di Universitas Essex. Inspirasinya adalah game petualangan berbasis teks, Dungeon, salah satu varian Zork yang juga berbasis teks.

MUD tak jauh berbeda dari dua pendahulunya itu. Bersama-sama, Trubshaw dan Bartle membangun game ini lewat bahasa pemrograman BPCL. Tatkala Trubshaw lulus dari Essex, tonggak MUD sepenuhnya dipegang Bartle yang pada akhirnya terus mengembangkan game tersebut.

Panjang sekali perjalanan MUD di masa depan. Namun, yang jelas, game itu mencapai titik perubahan tertinggi saat pertama kali terhubung secara online lewat ARPANET. Ini membuat para pemain bisa saling bertukar item game yang pada akhirnya mengawali sejarah RMT.

Anshe Chung, si Raja Real Estate Second Life

Nama aslinya Ailin Graef. Asal China. Di Second Life, ia menggunakan Anshe Chung sebagai nama avatarnya. Jika di dunia nyata Chung adalah seorang guru bahasa China, di Second Life ia adalah taipan alias raja real estate. Pada 2006, ia bahkan jadi miliuner pertama di dunia virtual.

Semua itu terjadi karena sistem yang dibawa Linden Lab lewat Second Life. Ini adalah game--meski Linden Lab enggan menyebutnya sebagai game--yang memungkinkan pemain menjalani kehidupan, berinteraksi, membangun sesuatu, membuka jasa, bahkan berdagang secara virtual.

Semua transaksi di sana menggunakan dolar Linden (tiap 257 dolar setara satu dolar AS) yang bisa ditukar dengan uang sungguhan. Nah, tiap-tiap dolar yang Chung dapatkan mulanya berasal dari usaha animasi kustom. Saat mencapai jumlah tertentu, barulah ia gunakan untuk membeli tanah virtual.

Chung tampaknya melihat peluang besar di sana. Ia lalu semakin aktif membeli tanah-tanah di Second Life, mengembangkannya, menyewakan, hingga menjual kembali tanah-tanah tersebut. Aktivitas itu membuat kekayaan Chung pada 2006 mencapai angka 1 juta dolar AS.

Jon Jacobs ‘Neverdie’, Penjual Item Virtual Termahal di Dunia

Sudikah kita mengeluarkan uang 100.000 dolar AS untuk membeli sebuah item virtual? Jika pertanyaan itu dilontarkan pada Jon Jacobs, jawabannya adalah “Ya, saya sangat bersedia.”

Jacobs adalah pemain Entropia Universe, sebuah game multiplayer online rancangan developer Swedia. Game ini memiliki mata uang tersendiri dengan kurs tetap terhadap dolar Amerika. Sistem itulah yang memungkinkan para pemain melakukan transaksi di dalamnya.

Pada 2005, Jacobs yang punya nama avatar ‘Neverdie’ membeli asteroid virtual di game tersebut. Keputusan yang kala itu bikin gempar sebab ia mesti menggelontarkan uang sebesar 100.000 US dolar. Terlebih, ia kabarnya sampai harus menggadaikan rumah terlebih dahulu.

Namun, perlu dicatat bahwa pembeli akan memiliki hak eksklusif atas wilayah yang ia beli, termasuk karakter dan monster di dalamnya. Mereka juga bisa mengatur pajak khusus bagi pemain yang ingin memasukinya. Nah, asteroid yang Jacobs beli tadi rupanya termasuk ramai pengunjung.

Itulah kenapa nilai jual asteroid yang pada akhirnya diberi nama ‘Club Neverdie’ itu selalu mengalami peningkatan. Pada 2010, Jacobs bahkan berhasil menjualnya kembali senilai 635.000 dolar AS kepada pemain lain. Angka tersebut menjadi penjualan item virtual termahal di dunia.

Edward Castranova, Peneliti Ekonomi Virtual

Saat orang-orang belum menganggap dunia virtual sepenting sekarang, Edward Castranova sudah menaruh perhatian serius. Ia sebetulnya profesor di bidang ekonomi. Ilmu di ranah itulah yang kemudian ia pergunakan untuk secara khusus meneliti ekonomi dunia virtual.

Castranova selalu punya jawaban tegas tiap kali ditanya mengapa ia terjun ke ranah itu. Salah satunya saat wawancara dengan Turabian beberapa tahun lalu. “Di dunia sintetis, hal-hal yang kita perdagangkan mungkin terlampau fantastis, tetapi proses dan nilai perdagangan di sana adalah hal nyata.”

Sudah banyak sekali jurnal tentang ekonomi virtual yang Castranova terbitkan, dan semuanya selalu berisi temuan-temuan penting. Dalam Virtual Worlds: A First-Hand Account of Market and Society on the Cyberian Frontier (2001) yang membahas EverQuest, ia mengklaim bahwa satu unit mata uang di sana lebih tinggi ketimbang Yen dan Lira.

Pada 2008, Castranova juga terlibat dalam penelitian tentang Arden: The World of Shakespeare. Di sana ia menyimpulan bahwa setiap pemain punya prinsip yang sama dengan ekonomi sungguhan. Yup, ini memperkuat argumennya bahwa dunia virtual dan dunia nyata pada dasarnya adalah sama.

Masih banyak penelitian lain yang pernah Castranova garap. Sebagian di antaranya bahkan dibukukan, termasuk Synthetic Worlds: The Business and Culture of Online Games yang terbit pada 2005 lalu. Selain itu, ia juga sempat mendirikan blog riset tentang gaming bernama Terra Nova.

Tyler Smith, Penggagas Platform Jual Beli Item Berbasis Blockchain

Jual beli item game sudah bukan hal asing pada 2015. Namun, Tyler Smith datang dengan ide yang lebih segar. Ia merilis FreeMyVunk, platform yang dapat menjadi wadah para gamer, baik dalam game yang sama ataupun lintas game, memperdagangkan aset virtual mereka melalui blockchain Ethereum.

Yang menonjol dari sana tentu saja penjualan lintas game. Smith mengklaim, barang virtual dapat dengan mudah didistribusikan jika diubah menjadi semacam token tersentralisasi. Dengan begitu, skin senjata di CS:GO, misal, dapat digunakan di League of Legends.

Seperti dibahas Atelier dalam tulisan panjang berjudul The Virtual Economy, ide tersebut bisa menjadi “evolusi signifikan di ranah item virtual karena memungkinkan terciptanya aset virtual jenis baru yang dapat diidentifikasi, dilacak, dan unik.”

Sayangnya, proyek itu tak bertahan lama. Smith menilai ide yang ia bawa muncul terlalu cepat saat orang-orang belum terlalu terbiasa. Pada 2016, proyek ini pun akhirnya terhenti. Namun, keberadaan singkat FreeMyVunk cukup untuk bikin orang-orang sadar bahwa industri RMT tak sesempit itu.

Sandeep Naiwal, Pendiri Matic Network

Setelah proyek FreeMyVunk berakhir, beberapa platform blockchain lain muncul ke permukaan. Masalahnya, hampir semua platform itu memiliki kesulitan serupa. Mereka mungkin dapat menciptakan transaksi yang aman dan tersentralisasi, tetapi prosesnya terbilang lamban.

Sandeep Naiwal yang berasal dari India coba mengubah pola itu. Pada 2017, ia dan rekan-rekannya membangun platform bernama Matic Network. Lewat platform ini ia coba menyeimbangkan desentralisasi, keamanan, dan kecepatan transaksi item-item virtual.

Meski tergolong jaringan blockchain baru, Matic Network pada dasarnya tetap terhubung ke blockchain Ethereum. Pembedanya terletak pada kecepatan tadi. Jika Ethereum dapat melakukan 15-20 transaksi per detik, Matic Network bahkan bisa mencapai 65.000 per detik.

Kecepatan itulah yang jadi jualan utama Matic Network. Selain itu, mereka juga mengklaim ramah pengguna serta punya biaya transaksi yang lebih murah. Semua ini dilakukan demi mencapai misi mereka, yakni membuat orang-orang, khususnya di ranah game, lebih terbiasa dengan blockchain.

Baca juga: Linimasa Real Money Trading

===

itemku membahas topik khusus terkait game yang diolah secara mendalam pada tiap bulannya. Untuk edisi kali ini, kami membahas seluk-beluk Real Money Trading (RMT). Akan ada tulisan-tulisan lain terkait topik itu yang tayang per pekan. Mudah-mudahan.